selamat datang

"selidikilah aku ya Allah dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran pikiranku. lihat lah apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku dijalan yang kekal"

Rabu, 11 April 2012

Pergumulan Waktu dalam Kehidupan Rohani


Hal pertama yang perlu kita mengerti adalah konsep hidup di dalam Alkitab adalah bagaikan sebuah perjalanan, di mana hidup dan waktu berjalan secara linear, terus dari awal sampai akhir. Lalu apakah sebenarnya waktu itu? Waktu adalah perjalanan present meninggalkan past menuju kepada future.  Past dan future adalah 2 titik yang pasif dan statis, hanya present yang aktif dan terus berjalan. Proses waktu yang linear juga berarti waktu akan terus berjalan tidak pernah kembali.
Kita tidak menerima konsep waktu yang bersifat siklus atau melingkar. Analogi arloji dapat membahayakan. Jam 12 dalam 1 hari dapat kembali 2 kali, tetapi ketika kita sampai kepada titik TAHUN, di situlah waktu bersifat different. Maka, ketika waktu ditotal sebagai satu keutuhan kita akan menyadari bahwa tidak ada 1 detik pun yang dapat kembali. Kelemahan dari waktu yang bersifat melingkar adalah kehilangan existential moment dan existential responsibility. Apakah eksistensial itu? Yang dimaksud di sini bukan sekedar eksistansi atau suatu keberadaan, akan tetapi ini sesuatu yang menyangkut life and death. Ketika waktu bersifat melingkar seperti yang banyak terdapat di konsep-konsep kebudayaan, waktu jadi kehilangan kekuatan sejarahnya, waktu menjadi tidak berarti, tidak ada momen atau opportunity yang berharga. Kita jadi berpikir bahwa satu peristiwa pasti dapat datang kembali, lalu kita mengabaikan waktu itu dan tidak bertanggung jawab atasnya.
Kita sering memikirkan waktu hanya dari pandangan mikro, yakni hal-hal seperti saya nanti malam makan dan tidur jam berapa, besok harus bertemu orang pukul berapa dsb. Akan tetapi sering kita kehilangan pikiran yang menanyakan, sebenarnya zaman kita ini mau ke mana? Saudara-saudara, Alkitab mengatakan bahwa Tuhan-lah yang memegang sejarah. Konsep ini banyak didapat dari kitab Wahyu. Konteks dari Wahyu adalah diberikan kepada orang Kristen yang sedang menghadapi penganiayaan kaisar Domisianus yang begitu kejam. Maka mereka menjadi bergumul dengan waktu. Ke manakah arah sejarah? Siapakah yang memegangnya? Kaisar Domisianus-kah? Namun Yesus berkata kepada Rasul Yohanes untuk menulis bahwa Dialah Alfa dan Omega! Sejarah itu ada di tangan TUHAN! Bukan di tangan manusia. Oleh karena itu orang Kristen memiliki satu pengharapan yang sangat besar meskipun mereka masuk ke dalam dunia-dunia mikro atau eksistential yang pribadi secara kesulitan.
Pada waktu orang-orang Kristen di bawah penganiayaan, mereka bertanya-tanya di manakah Tuhan. Ketika hidup menjadi sulit, kita merasa tidak ada yang menolong. Banyak peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keputusasaan historis, seperti zaman Nero & Hitler di waktu seperti tidak ada pengharapan. Akan tetapi secara kosmik atau secara kekekalan, Tuhanlah yang memegang sejarah. Puji Tuhan atas kitab Wahyu! Ia berkata “Akulah past present and future”.
Akan tetapi, orang-orang ateis mengatakan bahwa sejarah itu tidak memiliki arti, tidak ada yang memegang. Maka mereka masing-masing berespon terhadap tantangan sejarah secara pribadi lepas pribadi. Kalau kita orang yang licin, kita bisa menang, tapi kalau terlalu polos, kita akan dibuang. Yang menjadi makna sejarah adalah: Que sera sera - whatever will be will be. Apa yang benar menurut diri sendiri, itulah yang akan dilakukan.
Namun hal ini sama sekali berbeda dengan pandangan orang Kristen. Bagi orang Kristen, sejarah itu memiliki arti. Sejarah terus berjalan, tidak pernah kembali, dan berada di tangan Tuhan. Maka kita harus bergumul dengan sejarah dengan cara yang berbeda. Kita juga sepatutnya berdoa bagi sejarah, kita mohon supaya Tuhan menguduskan sejarah supaya jangan ada sejarah yang kelam.
Lalu kenapa Alkitab memfokuskan sejarah keselamatan Tuhan bagi orang percaya? Bukankah banyak kisah-kisah historis lainnya? Jawabannya adalah, Alkitab lebih tertarik kepada His story, bagaimana Tuhan bekerja dalam sejarah dan itulah yang seharusnya kita gumulkan, bukan semua kisah sejarah. Penting bagi kita untuk tidak kehilangan kesadaran makro ini supaya kita tidak jatuh kepada pergumulan mikro saja.
Sekarang kita akan memasuki pembahasan mengenai kronos dan kairos. Istilah ini muncul di dalam Kisah Para Rasul 1:7. Dalam bahasa Yunaninya, 2 kata ini ditulis sebagai  xρόνος (kronos) dan καιρός (kairos). Para filsuf sebelum Sokrates menyatakan kronos sebagai personifikasi dari waktu itu sendiri, present yang meninggalkan past menuju future. Kronos adalah chronological time, detik-detik yang berjalan. Sedangkan kairos adalah suatu crucial time. Paul Tilich, seorang filsuf mengatakan bahwa kairos adalah suatu krisis yang menghasilkan kesempatan untuk mengambil keputusan eksistensial. Sebagai contoh, pada masa penyusunan kabinet Indonesia yang baru beberapa waktu yang lalu berjalan, ada seorang ibu bernama Endang Rahayu Sidyaningsih; bukan seseorang yang terkenal, namun ia mendapat tawaran jabatan menteri kesehatan. Bagi dia, ini adalah suatu kesempatan yang tidak datang dua kali. Apabila kesempatan diambil, dia dapat menjadi pejabat publik, tapi konsekuensinya, privasi dia akan sangat terganggu. Inilah gambaran suatu life and death struggle. Pergumulan seperti inilah yang disebut kairos, bagi Paul Tilich, suatu masa krisis.
Apabila kita masuk kepada perbandingan yang lebih tajam, kita akan melihat bahwa kronos adalah waktu yang bersifat rutin, tetapi kairos itu tidak rutin. Kairos memiliki suatu nilai pengecualian, suatu exceptional value. Kesempatan yang hanya satu kali seumur hidup. Itu sebabnya banyak orang menjadi trauma ketika mereka menghadapi kesempatan-kesempatan yang tak tertangani dengan baik. Orang yang berkesempatan sekolah di Melbourne satu kali, akan tetapi tidak memanfaatkannya dengan beres, maka nanti apabila sudah pulang akan menyesal seumur hidup. Orang yang hidupnya hanya mencari kepuasan kedagingan, seperti free sex yang hanya memberi kenikmatan beberapa menit, mengandung dosa dan penyesalan yang harus ditanggung berpuluh-puluh tahun. Sungguh suatu ketidak-seimbangan yang sia-sia.
Ingatlah bahwa anugerah yang dibuang, tidak akan pernah kembali lagi. Janganlah saudara menyiksa diri di dalam historical suffering karena penderitaan seperti itu akan menyakitkan luar biasa, membawa penyesalan sampai mati. Begitulah mahalnya sebuah kesempatan.
Maka kita mengerti sekarang bahwa kairos adalah suatu momen, kesempatan yang harus diambil. Jangan biarkan kairos itu lewat! Apabila itu memang sesuatu yang benar dan berharga, maka ia HARUS diambil. Jangan kita mengerti kairos sekedar sebagai event.
Namun, kita juga jangan menghina kronos. Kronos pun memiliki kekuatannya sendiri. Apakah itu? Kronos adalah penguji kesetiaan yang paling puncak. Istilah setia adalah istilah yang selalu mengandung elemen waktu. Kesetiaan ditunjukkan dalam menghadapi hal yang penting, sulit, dan lama. Waktu yang ada dalam elemen kesetiaan ini adalah waktu kronos. Oleh sebab itu kronos sangatlah penting.
Yang perlu kita ketahui juga adalah, kronos selalu dibalut oleh penderitaan. Kata “sering” menjadi kunci di sini. Bumbu penderitaan itu menjadi sesuatu yang memaniskan kronos. Tahun-tahun yang sulit ketika dikenang lagi jangan membangkitkan suatu kejengkelan, tetapi jadikan suatu keindahan. Baiklah kita mengerti chronological time sebagai suatu panggung kesetiaan. Dan titik berangkat yang pertama, kita sepatutnya melihat kronos sebagai panggung kesetiaan Tuhan.
Kita seharusnya menyadari bahwa dalam tahun-tahun, hari demi hari dan jam-jam yang lewat, kesetiaan itu bukan sesuatu yang mudah. Oleh karena itu, orang-orang yang berada di dalam kronos kita, haruslah kita hargai; contohnya ibu kita yang pekerjaan merawat kita adalah banyak yang merupakan suatu repetisi, tetapi cinta kasihnya membuat dia setia. Kita harus menghargai siapapun yang hidup di dalam kronos kita, karena merekalah yang menunjukkan kesetiaan dalam kronos kita. Kesetiaan itu HARUS berada di dalam kronos.
Hal berikutnya yang harus kita ingat juga adalah bahwa kronos dan kairos, keduanya sama-sama anugerah Tuhan. Kairos yang adalah unexpected opportunities memang lebih mudah dilihat sebagai anugerah. Akan tetapi jangan kita lupa bahwa kronos pun adalah suatu anugerah. Kenyataan bahwa kita bisa hidup sampai hari ini adalah suatu anugerah! Semua yang rutin adalah anugerah, Marilah kita belajar bersyukur atas keseharian kita. Kenyataan bahwa kita seting mengeluh akan rutinitas kita menjadikan terkadang Tuhan mengizinkan kehilangan terjadi supaya kita belajar bersyukur.
Kemudian kita juga melihat bahwa kronos bisa menjadi kairos, dan kita dapat melihat kairos dalam kronos, yakni ketika kita melihat kronos dalam cinta kasih, arti, dan kehendak Allah. “Love makes all things beautiful. Love makes simple things beautiful.” Oleh-oleh sederhana yang dibungkus dengan cinta kasih menjadi bagus. Akan tetapi barang mewah yang dibungkus dengan kebencian, siapa yang mau menerima? Ketika orang sedang bersyukur, waktu menjadi motivasi untuk dia terus mengerjakan apa yang sedang ia kerjakan, tetapi di dalam kondisi patah hati dan putus asa, waktu menjadi satu kesakitan dan kejengkelan. Cinta kasih Kristus itu jauh lebih indah lagi. Inilah yang membuat misionaris dapat menikmati kronos. Sedangkan yang dimaksud dengan meaning bagi waktu adalah Firman Tuhan. Oleh karena ini, kronos menjadi sesuatu yang sangat powerful. Lalu terhadap kehendak Allah, hendaknya kita peka, karena inilah yang dapat membuat mata kita melihat kairos atau peluang-peluang dengan jelas.
Lalu sekarang kita sampai kepada bagian, bagaimanakah seharusnya kita menggumulkan waktu dalam konteks kehidupan kita? Kita tahu bahwa setiap orang diberi waktu 24 jam dalam 1 hari. Tetapi, umur setiap orang tidak sama, ada orang yang berumur 50 tahun, ada yang 90 tahun. Orang yang rajin melayani dan cinta Tuhan dapat meinggal umur 28, tetapi orang yang hidup sembrono bisa sampai umur 82 belum meninggal. Lalu mengapa Tuhan memberi tiap orang satu hari yang sama tetapi durasi berbeda? Alkitab menjawab perbedaan durasi didasarkan karena ada pimpinan Tuhan yang berbeda. Apabila kita melihat satu contoh, Musa diperintahkan Tuhan untuk tidak memasuki tanah Kanaan, dan ketika sampai di perbatasan, di atas gunung Nebo, Musa dipanggil Tuhan dan meninggal. Hal ini terjadi karena memang Musa diberi tugas memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan, maka pada saat itu tugasnya sudah selesai. Sedangkan Yosua bertugas memimpin bangsa Israel untuk masuk dan menduduki tanah perjanjian. Di Yosua 13, Alkitab mencatat bahwa Tuhan sendiri bilang bahwa Yosua sudah lanjut umurnya. Akan tetapi Tuhan tetap melanjutkan perintah karena masih banyak daerah belum direbut. Mengapa seperti ini? Hal ini karena konsep pensiun di dalam Alkitab bukan usia, tetapi tugas. Yang belum selesai tidak boleh berhenti, terus bekerja. Tetapi yang sudah selesai, ia akan berhenti yaitu ketika manusia meninggal. Mengapa Yesus berumur 33 tahun setengah, Musa 120 tahun dan Paulus 60 lebih? Karena Tuhan sudah men-set tugas, pembentukan, spirituality courses bagi Musa sebagai 120 tahun. Tiap orang memiliki tugas dan pembentukan yang berbeda, oleh karena itu usia berbeda-beda. Memang kematian dapat dipicu oleh penyakit, atau eksekusi, akan tetapi bila dilihat dari theological meaning kematian terjadi karena memang waktu hidup telah selesai.
Maka dalam hidup masing-masing orang, tidak ada waktu yang kurang. Umur berapa pun yang ditetapkan Tuhan, pasti cukup untuk melakukan kehendak Allah. Problemnya adalah kita banyak membuang waktu kita dengan sia-sia. Setiap orang kalau menggumulkan kehendak Allah pasti memiliki cukup waktu! Tidak ada istilah orang yang hidupnya kurang atau terlalu panjang. Yang hidupnya panjang berarti pekerjaannya banyak. Tetapi celakalah orang yang hidupnya panjang tetapi bekerjanya sedikit dan kurang melayani. Namun berbahagialah mereka yang hidupnya pendek tetapi giat melayani.
Banyak orang baru menggumulkan pertanyaan mengenai kehendak Tuhan ketika akan meninggal. Yang benar adalah SEKARANG-lah waktunya. Ketika saudara-saudara masih muda, kita harus cepat bertanya, apa yang Tuhan mau kita kerjakan dalam hidup kita. Jangan kita membuang-buang waktu dan memboroskan hidup. Yang masih SMP, SMA, atau kuliah, bacalah banyak pengetahuan. Jangan buang waktumu, atau nanti saudara akan menyesal. Jangan sia-siakan kesempatanmu yang banyak ini.
Hendaknya kita sadari bahwa puluhan tahun akan dengan sangat cepat berlalu. Maka Yesus berkata, kita harus mengerjakan pekerjaan Tuhan selama masih siang. Yesus menyatakan perkataan ini ketika masih siang. Sekaranglah saatnya kita harus cepat bergerak. Minta ampun kepada Tuhan untuk waktu-waktu yang sudah kita buang. Dan sekarang cepatlah kita bekerja.
Lalu bagaimana dengan yang sudah berusia lanjut? Biarlah waktu yang masih ada hendaknya kita squeeze. Pdt. Stephen Tong mengajukan cara pemakaian waktu dengan metode perkalian. Waktu yang ada untuk melayani Tuhan saat pensiun justru seharusnya lebih banyak. Baiklah kita ikut semua pelayanan yang kita bisa, untuk menebus ‘tahun-tahun yang dimakan belalang’, tahun-tahun kesia-siaan.
Berikutnya, waktu baru dapat dijalankan dengan benar apabila kita memiliki escatological awareness, suatu kesadaran eskatologis, bahwa waktu berjalan terus. Kesadaran eskatalogis membuat kita mengetahui bahwa waktu itu berjalan terus menuju akhir dan akan tiba saatnya di mana kita akan dihakimi oleh Tuhan. Ini adalah rahasia bagaimana semua hamba Tuhan yang besar memakai waktu mereka.
Yang terakhir, kita juga sering melihat bahwa ada dilema dalam waktu. Kadang-kadang terjadi dilema ketika suatu kesempatan datang, apakah harus diambil atau tidak? Kesempatan memang tidak boleh dibuang. Tetapi kenapa Yesus baru mulai melayani umur 30 tahun? Ada 18 tahun yang dihilangkan sejak umur 12 Ia berbicara di Bait Suci. Kenapa Musa harus berada di Midian selama 40 tahun? Bukankah apabila waktu itu dipakai untuk melayani, akan banyak hasil yang luar biasa? Rahasia bagi jawaban pertanyaan ini hanya satu, yaitu kehendak Allah. Yang menyebabkan saudara mengambil ataupun tidak mengambil suatu kesempatan haruslah dilandaskan oleh kehendak Allah. Inilah paradoks dari kesempatan. Kalau Tuhan tidak mau, meskipun kita ingin, tidak bisa kesempatan itu kita ambil.
Maka sebagai kesimpulan, bagaimana kita harus menggumulkan waktu adalah kita harus menggumulkannya di dalam kehendak Allah. Waktu baru menjadi ketika ia ada di dalam kehendak Allah. Kiranya khotbah ini boleh menjadi suatu trigger bagi kita untuk dapat lebih dalam lagi terus merenungkan dengan lebih tajam tentang waktu yang diberikan Tuhan dalam tiap hari kita.

1 komentar: